Senin, 29 November 2010

Katanya Cinta, Tapi Selingkuh Juga

Berselancar ke situs Nova die Frau menemukan artikel menarik lho... simak ya ...

C oba, deh, tanya kepada mereka yang berselingkuh, apakah masih cinta sama pasangannya? Banyak, lo, yang ngaku nya masih cinta. Aneh, ya? Katanya cinta, tapi, kok, berselingkuh.

"Habis, istriku nggak bisa diajak 'gaul'. Diajak happy-happy ke kafe atau diskotik aja, enggak mau. Alasannya banyak, yang buang-buang uanglah, kasihan sama anak-anaklah, ngantuklah. Padahal aku, kan, perlu bergaul. Otomatis, lama-lama akhirnya aku jadi nggak nyambung , dong, kalau ngomong sama istri," tutur Soni, sebut saja begitu, pengusaha muda dengan dua anak lelaki usia 5 dan 3 tahun.

Ada pula yang beralasan karena merasa terjajah oleh sikap istri yang dianggap kelewat cerewet dan judes. Bahkan, tak sedikit yang alasannya karena kebablasan sehingga perlu dimaklumi. "Ya, enggak bisa, dong! Dia sendiri, kok, yang memilih bentuk kehidupan semacam itu. Kalau kebablasan, kan, lebih karena ketidaksengajaan," kata Zainoel B. Biran . Bukankah setiap orang harus bisa mengontrol diri dan perilakunya, termasuk mempertimbangkan risiko perbuatannya? Mengenai kekurangan istri, "ah, itu, sih, cuma alasan yang dicari-cari. Memangnya kalau tak menemukan kekurangan istri lantas si pria enggak punya alasan maupun peluang untuk berselingkuh? Enggak juga, kan?" lanjut Bang Noel, panggilan akrab psikolog sosial dari Fakultas Psikologi UI ini.

MELANGGAR KOMITMEN

Merujuk pengalaman Bang Noel menangani klien, ketertarikan fisik menempati urutan pertama dari beragam masalah yang dikemukakan sebagai alasan. Tak heran bila yang dijadikan "sasaran" sebagai WIL biasanya wanita muda usia dengan fisik lebih menarik daripada istri. Tapi banyak juga yang mengedepankan hambatan psikis sebagai alasan berselingkuh. Misal, rasa rendah diri karena istri lebih pintar atau lebih kaya hingga yang bersangkutan merasa tak dihargai. Disamping, anggapan dalam masyarakat yang salah kaprah, juga ikut memperbesar peluang orang berselingkuh.

Sebagai contoh, pria tak pernah dipersoalkan keperjakaannya saat menikah. "Belum lagi tuntutan bahwa pria harus selalu kelihatan jantan. Makanya, begitu mengalami ketidakpuasan seks atau lainnya, pria segera mencari kemungkinan baru." Bahkan, berdasarkan pemikiran analistik, pria ternyata memang lebih membutuhkan variasi saat menghadapi kebosanan atau objek lain yang lebih menarik, termasuk dalam urusan ranjang! Pokoknya, ada aja alasan yang diberikan oleh para peselingkuh, termasuk ingin cari variasi. Itulah mengapa, Bang Noel amat meragukan kadar cintanya. "Kalau memang tetap cinta pada anak-istri, harus dipertanyakan cinta model apa?" ujarnya.

Karena dalam perkawinan yang harmonis, tuturnya, minimal harus ada 3 aspek pokok yang saling berkaitan, yakni passion atau gairah, intimacy atau keakraban, dan komitmen berupa norma-norma sosial serta agama. "Nah, jika dia berselingkuh, kan, berarti dia melanggar tiga aspek tersebut, termasuk komitmen terhadap Yang Di Atas seperti yang disebut-sebut dalam janji nikah," tandasnya.

TAK PERLU MERENGEK

Meledak marah atau sebaliknya bersikap diam seribu bahasa, jelas tak akan memecahkan masalah. Apalagi kalau Anda malah memilih balas dendam sebagai jalan pintas, "Huh, memangnya cuma dia yang bisa nyeleweng ! Aku masih menarik dan bisa juga, kok!" Kalau ini yang terjadi, "Ya, kacau, dong!" tukas Bang Noel seraya melanjutkan, "Siapa nanti yang mau peduli dan mengurusi anak-anak?"

Menurutnya, istri model ini sebenarnya cuma menunggu kesempatan untuk mencari pembenaran diri. Soalnya, tak tertutup kemungkinan ia memang ingin atau boleh jadi sudah lama terlibat perselingkuhan serupa. Jangan pula menyalahkan diri sendiri bila selama ini Anda memang sudah berusaha maksimal menjalankan peran Anda dalam keluarga. "Istri boleh saja sesaat merasa dikhianati dan dicampakkan, tapi jangan pernah menunjukkan sikap memelas hanya lantaran takut berpisah dengan suami."

Apalagi sampai terkesan merengek minta dikasihani seolah mengatakan, "Jangan tinggalkan saya dan anak-anak, dong, Mas. Kalau Mas pergi, siapa yang menafkahi anak?" Bila hal-hal semacam ini Anda gunakan sebagai "senjata" untuk mengikatnya, justru akan membuatnya bersikap makin seenaknya. "Makanya, para istri sebaiknya tak pernah menggantungkan nasib pada suami atau siapapun," ujar Bang Noel. Hal lain yang harus dihindari, jangan pernah membicarakan masalah perselingkuhan pasangan dengan keluarga besar kedua belah pihak. Bukan tak mungkin orang tua atau kerabat yang sejak awal sudah antipati pada pasangan akan memperkeruh keadaan atau bahkan menimbulkan masalah baru. "Tuh, dari dulu, kan, Mama udah bilang kalau dia laki-laki enggak bener ! Sekarang terbukti, kan?" Nah, Anda juga yang disalahkan, bukan?

KOMUNIKASI PERSONAL

Yang terbaik, menurut Bang Noel, bicarakan dengan pasangan sampai tuntas. Bukankah ini masalah Anda berdua? Dalam pembicaraan itu, tanyakan, apa, sih, maunya? Lakukan introspeksi, apa sebetulnya yang menjadi bom waktu dalam perkawinan Anda. Benarkah kedekatan hati Anda berdua sudah begitu jauh hingga tak mungkin terjembatani lagi? Dengarkan pula keinginan maupun kekecewaannya yang selama ini mungkin terabaikan.

Jadi, kaji kembali perjalanan perkawinan Anda, apa yang salah dan bagaimana memperbaiki kesalahan tersebut. "Menjalani perkawinan memang membutuhkan landasan yang kokoh," ujar Bang Noel. Selain, menuntut kemampuan asertif dari kedua belah pihak tanpa terlalu banyak mengenakan topeng maupun bumbu-bumbu yang sebetulnya tak diperlukan. "Belajarlah bersikap apa adanya tanpa harus menyakiti pasangan."

Itu sebabnya, tandas Bang Noel, komunikasi personal merupakan keharusan yang perlu dibiasakan sejak awal perkawinan. "Dengan saling ber-sharing , frekuensi dan intesitas komunikasi semakin tinggi, sehingga suami-istri akan semakin akrab dan lebih mengerti kebutuhan pasangan. Dengan begitu, relasi di antara mereka kian kokoh." Tentu saja, agar pembicaraan berlangsung sebagaimana yang diharapkan, kepala dan hati Anda harus dingin.

Anda pun harus pandai mencari momen yang tepat dan jangan sekali-kali menggunakan prinsip kalah-menang karena Anda akan terpancing untuk meledak-ledak dan ngotot hanya agar suami kalah dengan mengakui perselingkuhannya. Sementara dalam diri suami akan semakin subur ketidaksukaannya pada Anda yang sejak awal mungkin menjadi pemicu perselingkuhannya. Jika pembicaraan menemukan jalan buntu, saran Bang Noel, jangan ragu untuk mencari bantuan ahli yang bisa bersikap netral, bisa dipercaya kedua belah pihak, bijaksana, dan bisa menunjukkan jalan keluar terbaik dari kemelut rumah tangga Anda berdua.

KENALI PRIA YANG GAMPANG BERSELINGKUH

Rajin melirik wanita cantik bukan jaminan dia akan berselingkuh, lo. Dari serangkaian penelitian ditemukan hasil cukup ajek atau bersifat menetap, bahwa mereka yang aktif melakukan premarital sexual atau seks sebelum menikah cenderung lebih mudah tergoda untuk berselingkuh setelah menikah. "Tapi asumsi ini juga tak bisa diberlakukan begitu saja buat semua orang, karena segalanya terpulang pada niat baik masing-masing individu dan seberapa penting arti perkawinan buat mereka," kata Zainoel.

Yang jelas, tutur Bang Noel, pria dari semua tipe kepribadian berpeluang menjadi peselingkuh. Namun peluang tersebut akan semakin besar bila si pria cenderung haus pujian dan bersikap mencla-mencle alias inkonsisten, terlebih bila dibarengi nilai-nilai kehidupan yang longgar. "Gabungan ciri ini akan membuat mereka cenderung menjatuhkan pilihan pada hal-hal yang relatif mudah, mengutamakan aspek lahiriah dan memberi kesenangan." Mereka tak peduli dirinya dianggap tak wajar dan pilihannya keliru. Yang terpenting, mereka merasa "diorangkan".

Umumnya, mereka juga termasuk pria super egois yang mengalami hambatan perkembangan emosi. Tak heran bila mereka bersikap childish alias kekanak-kanakan, antara lain tak bisa mengendalikan dorongan keinginannya; harus saat itu juga terpenuhi tanpa mempedulikan status kepemilikan benda tesebut. Kepentingan orang lain sama sekali tak mereka pedulikan. Selain, menutup mata terhadap kekurangan diri dan tak berkeinginan memperbaikinya.

SI KECIL TUMBUH MENJADI PRIBADI YANG LIMBUNG

Anak usia balita bisa mengalami shock berat, lo, kalau tahu ayah atau ibunya berselingkuh. Soalnya, tatanan nilai-nilai kehidupan yang sedang mereka bangun, hancur berantakan. "Mereka bingung tak tahu siapa yang harus dijadikan panutan. Akibatnya, mereka tumbuh jadi pribadi limbung yang kehilangan pegangan dan tak tahu harus melangkah ke mana," tutur Zainoel. Namun begitu, masih mungkin dampaknya tak sedemikian buruk asalkan ada agent socialization atau tokoh sosialisasi lain di luar orang tua seperti tetangga atau kerabat maupun guru yang betul-betul care pada anak.

"Keterlibatan mereka sangat berperan dalam membantu anak menata kembali nilai-nilai kehidupannya yang berantakan. Bekal semacam ini dapat menjadi modal bagi anak kelak untuk mengambil hikmah dari ke'gila'an orang tuanya." Bukankah dengan melihat dan merasakan sendiri akibat dari kesalahan orang tua, anak justru akan belajar banyak agar pengalaman serupa tak terulang padanya? "Dengan demikian akan memperkuat nilai-nilai kehidupan mereka yang semula sangat lemah atau tak ada sama sekali." Sayangnya, diakui Bang Noel, tokoh atau model panutan tersebut, sekarang teramat sulit ditemukan di tengah masyarakat heterogen dan individualistis.

Dampak lain, perselingkuhan juga bisa mempercepat proses pendewasaan anak karena situasi ini kerap menutut anak mandiri lebih dini. Pasalnya, kepercayaan mereka pada orang tua sudah luntur atau bahkan tak ada lagi, hingga mereka tak lagi menganggap orang tua sebagai tempat bergantung yang diandalkan. Itu sebabnya, Bang Noel mengingatkan agar anak balita tak perlu diberi tahu skandal orang tuanya. "Tunggulah sampai mereka berumur belasan tahun ketika sudah bisa memahami apa yang terjadi."

Ini berarti, Anda harus bisa menyimpan rapat rahasia tersebut. Mau tak mau, Anda dituntut berjiwa matang agar mampu meng-handle emosi yang meledak-ledak dan membesarkan mereka dengan kasih sayang utuh, sekaligus menjaga dari dampak buruk aib yang menimpa keluarga. "Sekuat tenaga upayakan untuk menyelamatkan anak-anak yang tak bersalah. Pasrahkan masalah Anda pada Yang Di Atas. Ajak anak-anak mendoakan ayahnya, bukan sebaliknya, mengompori atau meracuni mereka untuk memusuhi ayahnya."

Julie/Th. Puspayanti

Sumber www.tabloidnova.com


Rumput Tetangga Lebih Hijau

Eh kamu tau ndak die Frau, ada Mars yang memberiku perhatian melebihi Mars-ku sendiri. Tiap hari dia sealu menelponku atau setidaknya mengirim sms yang isinya menanyakan kabar. Die Frau, what should I do? I feel so guilty! I guess I love him too...

Wew.. ada yang lagi falling in love lagi nih... Well Venus, are u sure that u falling in love with your new Mars?? I dont think so!! Masa sih semudah itu kamu melupakan Mars-mu yang dulu, Mars yang telah lama mendampingimu, berbagi kebahagiaan dan kesedihan denganmu. Masa semudah itu ingin kau campakkan?

But I guess my new Mars more perfect than him!! He gave me many attention, he bought me all the things that I want, how perfect he is!! Aku rasa hidupku sekarang telah lengkap dengannya.

Honey, yakinkan kalau perasaanmu itu benar-benar cinta atau cuma rasa senang yang sesaat, maksud die Frau perasaan yang sedang kamu rasa bukanlah cinta, tapi hanya sekedar ngefans atau rasa ingin diperhatikan saja. Coba renungkan kembali, apa kamu yakin apabila kamu meninggalkan Mars-mu yang lama lalu memutuskan hidup dengan Mars-mu yang baru kamu akan merasa lebih bahagia?? Oh cum on... kamu baru sebulan yang lalu mengenalnya. Sedang dengan Mars-mu saat ini kamu telah bertahun-tahun hidup dengannya. Kamu telah mengenal semua keluarganya, tabiat dan prilakunya, paling tidak sudah tidak perlu susah-susah beradaptasi lagi. Coba jika kamu hidup dengan Mars-mu yang baru, kamu belum mengenalnya, perlu waktu untuk beradaptasi lagi. Be realize... memadukan hati, tabiat, kepala yang berbeda tidak akan pernah mudah. Belum tentu kamu bahagia dengan Mars-mu yang baru. Lihatnya Mars-mu saat ini, dia begitu mencintaimu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Venus, ingatlah bahwa segala sesuatunya pasti terlihat indah di awal, tapi kalo dibelakang, who knows?? Memang benar apa kata pepatah "Rumput Tetangga Lebih Hijau"

So, think twice... jangan cepat ambil suatu keputusan, pertimbangkan baik-baik.....!!
Be wise Venus ..

Minggu, 28 November 2010

Bila Si Miskin Berjodoh Dengan Si Kaya

A pa jadinya bila suami dan istri memiliki perbedaan status sosial ekonomi cukup tinggi? Ternyata, pihak yang tingkat ekonominya lebih tinggi diharapkan mengalah.

"Kalau mau cari jodoh, jangan lupa lihat bibit, bebet, dan bobotnya." Begitu, kan, anjuran dari para orang tua zaman dulu. Meskipun di zaman sekarang masih banyak juga orang tua yang menganjurkan demikian. Maksudnya, carilah pasangan yang berasal dari keluarga baik-baik, sederajat pendidikan dan sosial ekonominya.

Anjuran atau nasihat tersebut, menurut Drs. Monty P. Satiadarma, MS.ATMCP/MFCC, ada benarnya, kok. Setidaknya, dalam psikologi pun ada teori yang mengatakan, semakin dekat perbedaan akan semakin kokoh perkawinan. Sebaliknya, semakin jauh perbedaan akan semakin berat karena harus ada kerja keras untuk menyatukan keduanya. "Itulah mengapa, pasangan suami-istri sebaiknya berlatar belakang sama, baik dalam pendidikan maupun status sosial ekonomi," ujarnya.

Kendati demikian, bukan berarti orang yang lemah secara ekonomi tak boleh menikah dengan golongan orang berada yang jauh di atasnya, lo. "Ide kesamaan status sosial dan ekonomi sebenarnya bertujuan untuk mengurangi tekanan dalam perkawinan. Tapi kalau si miskin akhirnya ketemu jodoh dengan si kaya, ya, enggak apa-apa. Soal jodoh, kan, bukan kita yang mengatur," tutur Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, Jakarta, ini.

Yang penting, lanjut Monty, sebelum menyatukan diri dalam ikatan perkawinan, sudah dibicarakan matang-matang soal perbedaan-perbedaan tersebut, termasuk perbedaan sosial ekonomi. "Kalau perbedaan-perbedaan itu sudah disepakati, pasangan bisa melangkah kepada komitmen yang lebih kuat." Dengan demikian, soal kaya-miskin tak lagi dipermasalahkan. Lagi pula, bila dua orang sudah terikat dalam sebuah perkawinan, maka masing-masing pihak harus menanggalkan atribut sebagai si kaya atau si miskin dan menggantinya dengan atribut suami dan istri atau ayah dan ibu bila sudah punya anak. Jadi, tandas Monty, "Mau tak mau, masing-masing pihak memang harus mengubah gayanya, karena itulah proses adaptasi perkawinan."

EKONOMI TAK TERMASUK

Memang, sih, aku Monty, perbedaan latar belakang ekonomi akan membentuk persepsi-persepsi yang tertanam pada masing-masing pihak; menjadi cerminan atau gambaran tentang dirinya yang disebut konsep diri. "Nah, konsep diri ini tampak dalam atribut yang dia bawa, misalnya, kamu anak miskin, kamu anak kaya." Namun dalam hidup berkeluarga, lanjutnya, atribut-atribut ini diharapkan tak tampak lagi, berubah menjadi atribut-atribut baru sebagai suami/ayah dan istri/ibu.

Menurut Monty, bila masing-masing pihak sudah menyadari perannya, maka perbedaan kaya-miskin seharusnya tak menjadi konflik lagi. Tapi, karena persepsi dalam keluarga bisa berbeda dengan persepsi di masyarakat, maka bila komitmen di dalam tak kuat, ya, konflik tetap bisa muncul gara-gara persepsi dari luar. Bukankah dalam penilaian masyarakat, setiap orang harus berperan sesuai atribut-atribut asalnya?

"Jadi, kalau atributnya miskin, ya, dia harus menjalani peran ini di masyarakat. Kalau tidak, dia akan mendapat cela dari masyarakat." Nah, bila persepsi masyarakat yang seperti itu diproyeksikan ke dalam diri kita, ya, celakalah. Soalnya, kita pun akan mempunyai penilaian yang sama. "Orang miskin, tuh, enggak pantas kawin sama orang kaya. Nanti akibatnya kamu jadi minder, enggak bakalan dianggap sama si kaya."

Begitu, kan, yang sering kita dengar? "Nah, pada saat menikah, proyeksi ini bisa tumbuh sewaktu-waktu bila komitmennya enggak kuat," kata Monty. Sebaiknya, saran Monty, tak usahlah kita memfokuskan pada perbedaan ekonomi dan persepsi masyarakat yang bisa menjadi pemicu konflik. "Kalau ingin pernikahan langgeng, fokuskan pada keinginan untuk membentuk perkawinan yang sehat tanpa memandang status sosial ekonomi."

Apalagi, tambahnya, dalam perkawinan yang langgeng, unsur ekonomi tak termasuk, kok. Perkawinan yang langgeng, tuturnya, harus memenuhi 5 unsur berikut ini: ada komitmen, ada rasa saling memberi dan menghargai, ada cinta, ada kebahagiaan, dan ada legitimasi untuk mendapatkan keturunan. Nah, terbukti, kan, unsur ekonomi sama sekali tak termasuk? Jadi, buat apa dipersoalkan, Bu-Pak?

TAK USAH MINDER

Lagi pula, lanjut Monty, bila dua orang sudah terikat dalam perkawinan, tak peduli kaya atau miskin, yang ada kemudian adalah mitra sejajar. "Masing-masing pihak harus saling memahami dan belajar. Yang kaya tak perlu lagi menonjol-nonjolkan kekayaannya. Sebaliknya, yang miskin tak perlu minder." Malah yang kaya mungkin bisa belajar bagaimana hidup bersahaja. Jadi, kalau teman-temannya selama ini selalu dari lingkungan orang kaya, cobalah untuk mencari teman dari lingkungan pasangan yang notabene orang-orang sederhana. "Kadang kita malah bisa belajar banyak, lo, dari orang-orang yang statusnya di bawah kita," tutur Monty.

Sementara yang miskin, lanjut Monty, daripada minder, lebih baik berpikir positif. Misalnya, "Biarpun saya enggak sekaya istri, tapi saya punya pekerjaan halal dan penghasilan yang cukup untuk anak-istri." Tentu saja yang miskin pun perlu belajar dalam arti memperluas wawasannya mengenai kehidupan orang kaya. Sehingga manakala suatu saat dia berada dalam kelompok pasangannya yang kaya, paling tidak dia bisa ikut nimbrung dalam pembicaraan mereka. "Tapi yang baik, adalah masing-masing pihak perlu mempelajari gaya hidup pasangannya. Inilah yang dinamakan proses penyesuaian diri dalam perkawinan."

Tapi bukan berarti si suami yang miskin ini lantas harus mengubah gaya hidupnya yang sederhana menjadi glamor, lo. "Nanti malah dibilang kere munggah bale , orang miskin yang kawin hanya untuk climb society, pindah ke golongan yang dirasanya lebih tinggi." Lagi pula, kalau ternyata dia enggak sanggup, malah bisa timbul konflik peran, lo. Maksudnya, lanjut Monty, peran adalah watak yang kita mainkan di dalam pergaulan sosial.

Konflik peran terjadi jika kita harus memainkan watak yang tidak selaras atau bahkan bertentangan. "Dalam konteks miskin dan kaya, misalnya, seseorang yang berasal dari keluarga sederhana yang terbiasa hidup sederhana dan ekonomis, kemudian harus menyesuaikan diri dengan pasangan barunya yang kaya dan boros, ia akan mengalami konflik peran. Seringkali 'terpaksa' harus bertindak yang sama dengan pasangannya, padahal hati kecilnya tersiksa.

Nah, lama-kelamaan ini bisa menimbulkan frustrasi. Karena dia harus menjadi orang yang bukan dirinya sendiri." Menurut Monty, lebih baik kemajuan itu diperoleh karena achievement dia sendiri, bukan karena mobilitas sosial yang diperolehnya dari pasangan. Harga diri juga tetap bisa dipertahankan. "Bangga, kan, kalau kita kemudian menjadi kaya, dan step by step 'perjuangannya' kita nikmati."

YANG KAYA HARUS MENGALAH

Jikapun sampai terjadi konflik gara-gara perbedaan status sosial ekonomi, saran Monty, coba, deh, pikirkan, penting enggak, sih, suami- istri "berkelahi" gara-gara soal itu? "Fokuskan mana yang lebih penting, status sosial ekonomi atau kelanggengan perkawinan?" Monty menganjurkan agar pasangan melihat kembali bagaimana komitmennya dulu sebelum menikah. Bila memang dulu sudah dicapai kata sepakat bahwa perbedaan status sosial ekonomi tak bakal jadi masalah, lantas mengapa komitmen tersebut sekarang malah berbelok? Apakah karena ada faktor luar yang terlalu ikut campur?

Kalau masalahnya karena faktor luar, kembalikan lagi pada komitmen. Kalau masalahnya karena komitmen yang dilanggar, ya, harus diluruskan lagi. Berarti, mau tak mau, harus ada pihak yang mengalah. Nah, dalam kasus perkawinan beda status sosial ekonomi, kata Monty, yang lebih diharapkan mengalah adalah pihak yang lebih tinggi tingkat ekonominya. "Kalau suami sudah sebal dengan gaya hidup yang kita pertahankan, ya, cobalah untuk mengubahnya. Toh, tak ada salahnya mengubah gaya hidup yang lebih down to earth. Apalagi di zaman sekarang, orang dinilai bukan dari kekayaannya, tapi lebih kepada pendidikan dan attitude -nya."

Bila suami lebih kaya, seringkali mereka justru menuntut agar istri mengikuti sang suami. Bukankah kerap terjadi, bila istri tidak bisa mengimbangi suami, maka si suami pun jadi punya alasan untuk membenarkan tindakannya untuk menyeleweng, misalnya, "habis istriku enggak bisa diajak gaya, norak. Kan, malu kalau bawa-bawa istri ke tempat jet-set? " Tentu saja itu hanya alasan yang dicari-cari untuk menyeleweng.

"Karena pada dasarnya memang sudah berencana menyeleweng. Punya istri norak? Siapa yang suruh punya istri norak? Memangnya siapa yang memilih pada mulanya, bukankah karena sifat norak laki-laki itu sendiri yang membawanya pada pilihan tersebut?" Pola pikir demikian sesungguhnya cuma blamming , menyalahkan orang lain yang sesungguhnya bersumber dari rasa ketidakberdayaan menerima kritik, saran dan kekurangan orang lain. Hal ini hanya mungkin terjadi jika seseorang memiliki sikap rendah hati." Sebaliknya sifat mau menang sendiri adalah keangkuhan yang menyelimuti sifat pengecut karena tidak berani menerima ketidaksempurnaan manusia. "Ingat, perkawinan itu sendiri merupakan ibadah dalam kehidupan. Tidak adil kalau kita selalu mencari-cari kekurangan pasangan, sementara kita tutup mata atas kelebihan-kelebihannya."

JADI CONTOH BUAT ANAK

Yang terbaik, menurut Monty, ambillah jalan tengah. Misalnya, gaya hidup yang bersahaja. Pasalnya, bila suami-istri kerap konflik hanya gara-gara mempersoalkan status sosial yang berbeda, bisa berdampak pada anak. "Anak-anak jadi melihat, oh, jadi dalam memilih jodoh, materi menempati hal yang utama, bukan lagi kepribadian calon pasangannya. Soalnya gara-gara materi, bapak dan ibu jadi sering berantem.

Jadi anak-anak berpikiran, kalau begitu, materi sangat penting, dong. Padahal kan itu tidak betul. Anak-anak bisa menjadi orang yang pemilih, mungkin dalam bergaul juga begitu, maunya berteman dengan yang segolongan saja." Tapi jika ayah dan ibu tak pernah mempersoalkan perbedaan status sosial ekonomi, maka ke depannya nanti, bisa menjadi contoh bagi anak-anak dalam mencari kawan atau jodoh. "Anak-anak, kan, bisa melihat, meski ayah-ibu berbeda status sosial ekonomi, tapi mereka tetap akur dan awet perkawinannya." Anak-anak juga mungkin akan lebih melihat status pendidikan daripada ekonomi.

Misalnya, ayahnya yang orang miskin tapi bisa menjadi doktor. "Ini, kan, juga memotivasi mereka bahwa kekayaan saja kadang kala bukan modal untuk mencapai pendidikan yang tinggi dan prestasi tak selalu berarti kekayaan." Yang jadi masalah, tak jarang kakek-nenek yang berduit sangat royal kepada cucu-cucunya. Entah dengan membelikan mainan, pakaian, ataupun makanan yang mahal-mahal. Bila demikian, saran Monty, kemukakan saja terus terang kepada si kakek dan nenek tentang pola asuh yang diterapkan di dalam keluarga kita.

"Mungkin pada awalnya mereka akan berpikir, 'Wah, sok amat anakku, kok, menolak pemberian barang-barang buat cucu.' Tak apa-apa. Toh, lama-kelamaan mereka akan mengerti juga. Apalagi jika mereka melihat, anak dan menantunya ternyata mempunyai komitmen yang kuat dan sikap saling menghargai." Malah, lanjut Monty, bukan tak mungkin si kakek dan nenek akan berbalik bangga mempunyai anak dan menantu yang tahu cara menempatkan diri dengan baik; yang satu enggak pongah karena kaya dan satunya enggak minder lantaran miskin. Nah, Bu-Pak, tak ada lagi yang perlu dipersoalkan, bukan?

Santi Hartono

Sumber www.tabloidnova.com

Jika Istri Dipelototi Pria Lain

T idak semua istri/suami merasa nyaman bila pasangannya dikagumi orang lain secara seksual. Adakalanya yang muncul justru perasaan risih. Benarkah masalah tersebut bisa mengganggu kehangatan ranjang?

Andi merasa risih, tiap kali jalan dengan istrinya di pusat keramaian. Banyak mata yang memelototi tubuh Tina yang memang dari sononya aduhai. Tina sendiri tidak masalah, bahkan kadang-kadang terselip perasaan bangga kalau ada yang memuji, "Wah, Jeng Tina anaknya sudah dua? Nggak percaya, ah. Badannya masih bagus gini . Mana seksi lagi!"

Cerita sebaliknya dialami Lani. Deni suaminya sejak kuliah terkenal sebagai si jago basket. Badannya tinggi, tegap, dengan postur ideal. Lani justru bangga kalau teman-temannya memuji kemachoan tubuh suaminya. "Malah saya selalu membelikan baju yang bisa memperlihatkan otot-ototnya, dan suami saya seneng aja , tuh, memakai baju-baju yang saya belikan," ungkapnya dengan nada bangga.

Sebenarnya bagaimana harus bersikap bila pasangan dikaruniai tubuh yang "aduhai", yang kemudian membuat orang lain mengaguminya sedemikian rupa dengan pandangan mupeng (muka pengen alias bernafsu)? Haruskah bangga seperti Lani, atau risih seperti Andi? "Apa pun sikap yang dipilih, yang penting ada kesamaan persepsi antara suami dan istri," jawab Dra. Clara Istiwidarum Kriswanto, MA, CPBC., dari Jagadnita Consulting.

HARUS SEPAHAM

Memang tidak ada batasan yang tegas untuk masalah ini. Apakah pasangan yang mempunyai tubuh molek harus menyembunyikan kelebihannya ataukah justru boleh menonjolkannya. "Semuanya terpulang kembali pada kesepakatan kedua belah pihak," ungkap Clara. Ada suami/istri yang sepakat dan bangga dengan tubuh seksi/macho pasangannya. "Tidak ada keberatan di antara mereka kalau pasangannya mengenakan rok mini, tank top , kemeja ketat, dan sejenisnya." Mereka sama-sama enjoy saat berjalan di tempat umum dan menjadi pusat perhatian.

Namun, ada juga suami/istri yang keberatan bila pasangannya mempertontonkan "kelebihannya". Yang bersangkutan merasa lebih nyaman kalau hal-hal semacam itu tidak terlalu diekspos untuk umum. "Selama yang punya badan tidak keberatan untuk 'menyembunyikan' kelebihannya, ya tidak masalah juga," tambah Clara. Intinya, lagi-lagi kesepakatan kedua belah pihak untuk menentukan satu sikap yang sama.

BILA ADA PERBEDAAN SIKAP

Selama keduanya tidak ada perbedaan sikap, sebenarnya dijamin tidak akan muncul konflik. Masalah baru muncul kalau ada perbedaan. Beberapa hal berikut disarankan Clara bila ada batu sandungan sehubungan dengan masalah ini.

* Bicara terbuka

Ajak bicara pasangan. Galilah apa saja yang menjadi keberatannya. Utarakan juga keinginan pribadi kita. Sampaikan secara terbuka semua hal yang harus diketahui oleh pasangan.

* Kompromi

Setelah saling mengutarakan isi pikiran, cobalah cari titik kompromi. Bisa jadi titik kompromi ini tidak memuaskan kedua belah pihak, tapi itu merupakan jalan tengah yang paling sedikit risikonya.

* Jangan main paksa

Bila pasangan belum mau mengubah persepsinya, jangan pernah memaksakan kehendak. Misalnya pasangan dipaksa melupakan rok mini yang selama ini menjadi "kostum kebesarannya". Dikhawatirkan pemaksaan seperti itu justru menimbulkan kepalsuan. Kalau ada suaminya dia akan menurut, tapi di belakangnya justru makin menjadi-jadi.

* Luruskan pandangan

Bisa jadi masalah ini muncul karena persepsi yang salah. Oleh sebab itu, luruskan persepsi tersebut. Misalnya rasa takut kehilangan bisa dinetralisir dengan berkata tegas, "Memang benar banyak orang yang melihat penampilan fisikku, tapi itu tidak berarti aku menjadi milik mereka, kan? Aku tetap istri/suami kamu terlepas dari pandangan semua orang."

GANGGU KEHANGATAN RANJANG

Bisa jadi karena setiap hari merasa tubuh pasangan yang "aduhai" dijadikan santapan banyak mata, suami/istri lantas kehilangan gairah seksualnya. Benarkah demikian? "Sebenarnya tidak otomatis seperti itu," ungkap Clara.

Gangguan tersebut muncul karena secara psikologis pasangan tersebut merasa "ditinggal". "Tiap jalan berdua yang diperhatikan hanya salah satunya saja. Lama-lama akan muncul perasaan tidak nyaman dan akhirnya yang bersangkutan merasa terabaikan. Perasaan seperti ini bila dibiarkan terus-menerus bukan tidak mungkin akan berpengaruh pada kehidupan seksual mereka."

Kemungkinan lain adalah akan muncul perasaan tidak setara. Baru mau "menyentuh" sudah muncul perasaan minder, karena tubuh pasangannya terlihat sangat sempurna, sedangkan dia biasa-biasa saja. Akan muncul keragu-raguan dalam hati, "Jangan-jangan pasanganku tidak bisa menikmati bentuk tubuhku." Perasaan-perasaan seperti ini bila dibiarkan, dalam jangka panjang tentu akan memunculkan efek. Salah satunya adalah memudarnya kehangatan di atas ranjang.

Oleh sebab itu, saran Clara, kompromi merupakan jalan mutlak yang harus ditempuh oleh suami-istri. Jangan sampai komunikasi macet atau malah terputus hingga menimbulkan masalah yang sebenarnya tidak perlu muncul, seperti menurunnya gairah seksual tadi. Keindahan tubuh pasangan merupakan anugerah yang seharusnya disyukuri dan dinikmati. "Justru jadikan hal ini sebagai bonus yang bisa meningkatkan kualitas hubungan seksual dan bukan sebaliknya," tandasnya.

DULU TERTARIK KINI INGIN MENGUASAI

ADA juga kasus lain, sewaktu kenal pertama dulu suami/istri tertarik pada kondisi fisik pasangannya, entah karena keseksiannya atau kekekarannya. Yang bersangkutan sadar betul bahwa itu adalah "modal" yang membuat pasangannya dilirik banyak mata. Namun setelah menikah, suami/istri tentu saja tak rela lagi kalau kondisi fisik pasangannya masih "dinikmati" orang lain. "Itu namanya cinta yang obsesif. Ia ingin menguasai pasangannya sepenuhnya. Lo kalau sedang berjalan di tempat umum, apa iya orang lain tidak boleh melihat sama sekali?" tukas Clara . Di sinilah dibutuhkan kepercayaan dari kedua belah pihak. Dilihat boleh, disentuh jangan!

Marfuah Panji Astuti

Sumber www.tabloidnova.com

Sabtu, 27 November 2010

Uang Belanja, Kok, Dijatah

B anyak, lo, istri yang enggak tahu gaji suaminya. Sampai-sampai uang belanja pun dijatah oleh suami.

Kisah seorang istri berikut ini adalah sebuah contoh nyata. Linda, sebut saja begitu, sudah 3 tahun menikah. Namun sejak menikah hingga sekarang, ia tak pernah tahu berapa besar gaji suaminya setiap bulan. "Saya cuma dikasih uang belanja setiap minggu 150 ribu. Sebelum krismon, saya dikasih 100 ribu. Pinter-pinternya saya, deh, gimana ngaturnya," tutur wanita 32 tahun ini.

Sebenarnya, Linda yang sejak menikah tak bekerja lagi, ingin sekali tahu penghasilan suaminya setiap bulan, namun ia tak berani menanyakannya. "Pernah sekali saya tanya, tapi dia malah marah. Katanya, saya nggak perlu tahu. Toh, segala kebutuhan saya sudah dia penuhi.

Memang, sih, meski dijatah setiap minggu, tapi kalau saya kekurangan, dia pasti ngasih meskipun ditanya dulu untuk apa," lanjutnya. Pendeknya, kendati ada ganjalan di dada, namun Linda tak terlalu mempersoalkan berapa besar gaji suaminya. Apalagi sang suami, akunya, tak pelit-pelit amat. "Kalau saya perlu uang, dia selalu memberi asalkan alasannya tepat," tambah ibu seorang putri berusia 1 tahun 8 bulan ini.

Boleh jadi, Linda masih beruntung ketimbang istri-istri lain yang selain dijatah suaminya -bahkan, tak sedikit istri yang dijatah harian- masih harus pontang-panting untuk menutupi kekurangan belanja harian lantaran suaminya tak mau tahu lagi. Perilaku suami yang demikian, ternyata banyak, lo, dijumpai. Soalnya, kata psikolog Widyarto Adi Ps. , setiap lelaki memang punya kecenderungan untuk menggunakan uang seenaknya sendiri. Nah, lo!

ISTRI "MENTERI KEUANGAN"

Tapi sebenarnya, persoalan uang belanja yang dijatah ini, menurut Widyarto, lebih disebabkan tak adanya kedudukan yang setara antara suami-istri. "Suami tak percaya kalau istrinya mampu mengelola keuangan keluarga, sehingga ia berpikir istrinya tak perlu tahu berapa besar gajinya dan untuk keperluan sehari-hari keluarga, si istri dijatah, yang besarnya uang sudah ditentukan oleh suami," tuturnya.

Itulah mengapa, Widyarto menekankan, kesetaraan antara suami-istri sangat mutlak diperlukan agar pengelolaan keuangan di dalam keluarga menjadi lebih mudah. "Biasanya istri yang akan ditunjuk sebagai 'menteri keuangan' keluarga yang bertanggung jawab dalam mengelola gaji suami. Tentu dilakukannya secara terbuka dan transparan oleh suami maupun istri pada saat mengelolanya," paparnya. Dengan demikian, istri harus tahu berapa besar gaji maupun hasil sampingan suaminya.

"Kalau suaminya sering diundang jadi pembicara atau moderator, misalnya, sudah sewajarnya istri juga tahu berapa 'pasaran' suaminya di dunia seminar." Hal serupa juga harus dilakukan istri. "Bila istri punya sampingan, misalnya, bersama kawan berbisnis pakaian, suami pun harus tahu berapa gaji maupun hasil sampingan suaminya. "Kalau suaminya sering diundang jadi pembicara atau moderator, misalnya, sudah sewajarnya istri juga tahu berapa "pasaran" suaminya di dunia seminar." Hal serupa juga harus dilakukan istri.

"Bila istri punya sampingan, misalnya, bersama kawan berbisnis pakaian, suami pun harus tahu berapa pendapatannya." Soalnya, ketidakterbukaan dan ketidaksetaraan merupakan penyebab utama saling curiga di antara suami-istri. Kadang ada, kan suami ataupun istri yang mengeluarkan uang diluar kebutuhan anak-istri atau suaminya. Misalnya, harus membantu adik-adiknya yang masih sekolah karena ayahnya sudah lama pensiun atau membantu biaya hidup ibunya.

"Nah, itu semua harus sepengetahuan pasangan masing-masing. "Kalau tidak, akan menyebabkan mereka tak merasa enak jika dikemudian hari pasangan hidupnya mengetahui dan menganggapnya 'berselingkuh' uang". Hal ini dapat menjadi pemicu timbulnya pertengkaran di antara suami istri.

JADI KONSUMTIF

Kendati istri adalah "menteri keuangan", namun dalam pengelolaannya, menurut Widyarto, seyogyanya suami juga dilibatkan. "Tapi tentu tak terlibat dalam semua hal," tukasnya. Misalnya, suami dapat dilibatkan dalam menentukan ke mana sofa di ruang tamu akan direparasi karena kebetulan si suami lebih mengetahui tempat reparasi sofa yang lebih murah. "Kalaupun suami enggak mau dilibatkan atau melibatkan diri, ya, enggak apa-apa. Yang penting, istri selalu terbuka terhadap keterlibatan suami," lanjut Widyarto.

Malah ada positifnya, lo, kalau Bapak enggak mau terlibat. Istri jadi dituntut untuk bertanggung jawab dalam pengelolaannya. "Ia dapat secara bebas memutuskan dan merencanakan karena sadar betul berapa besar gaji suaminya, sehingga kehati-hatiannya akan tinggi dalam mengelola uang." Tapi lihat-lihat juga tipe sang istri, ya, Pak. Kalau ia tak dapat mengendalikan diri, ia akan 'mentang-mentang' dan terdorong untuk menggunakan uang tersebut untuk hal-hal yang tak perlu, menjadi komsutif.Bukankah wanita, katanya, 'lapar mata', kalau melihat barang bagus inginnya membeli meskipun kurang membutuhkan.

Ada lo, wanita yang meja riasnya sampai tiga buah. Nah, menghadapi istri yang demikian, Bapak wajib mengingatkannya. "Bukankah komitmen dalam mengelola keuangan keluarga adalah melaksanakan pendistribusiannya secara benar dan lurus?" ujar Widyarto. Jadi, kalau istri sebagai "menteri keuangan"nya melakukan penyimpangan atau bersikap konsumtif, berarti, kan, mengganggu keuangan keluarga. Makanya, ia perlu diingatkan.

Jika Bapak sudah mengingatkan namun ia tak juga berubah, saran Widyarto, Bapak harus mengambil alih pengelolaan atau memberi uang harian yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan keuangan itu sendiri. "Kalau tidak, tentu taruhannya adalah kesengsaraan," tukas pria yang biasa melakukan pelatihan bidang pengembangan diri dan pengembangan organisasi ini.

SISTEM SATU PUNDI

Adapun mengenai sistem pengelolaan keuangan dalam keluarga, menurut Widyarto, bisa dipilih sistem satu pundi atau dua pundi. Tentu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Pada sistem satu pundi, terang Widyarto, penghasilan istri dan suami dijadikan satu. Dengan demikian, pengeluaran jadi lebih terkontrol karena suami dan istri sama-sama mengetahui sehingga dapat saling mengingatkan. Namun kelemahannya, "dapat menimbulkan kecurigaan berlebihan dari salah satu pihak."

Misalnya, istri telah membelanjakan uang untuk seperangkat alat make up seharga Rp. 250 ribu yang oleh suaminya diprotes karena dianggap berlebihan. "Nah, ini, kan, bisa menimbulkan konflik di antara suami-istri." Menurut Widyarto, sistem satu pundi lebih tepat digunakan oleh suami-istri yang penghasilannya relatif masih sedikit atau si istri tak bekerja. Dengan begitu, pengelolaan keuangannya dapat diserahkan kepada istri atau bisa juga suami yang langsung mengelola dan istri pun tahu penggunaan uang tersebut.

"Tapi sebaiknya, sih, pengelolaan uang diserahkan kepada istri saja kalau istrinya tak bekerja. Soalnya, para suami umumnya jarang sekali mau memikirkan hal-hal sepele dalam masalah pengeluaran keluarga," tuturnya. Selanjutnya, bila telah mengalami peningkatan penghasilan yang cukup signifikan, barulah digunakan sistem dua pundi.

Pada suami-istri yang sama-sama bekerja dan telah mengalami peningkatan penghasilan, dengan sistem dua pundi berarti masing-masing memiliki pundi sendiri. Sedangkan pada suami yang istrinya tak bekerja namun penghasilannya telah meningkat, maka pundi yang kedua merupakan tabungan yang diambil dari sisa uang pada pundi pertama.

IDEALNYA DUA PUNDI

Bagi suami-istri yang sama-sama bekerja dengan penghasilan relatif mencukupi, Widyarto tak menganjurkan sistem satu pundi, walaupun pengelolaannya terkontrol. "Soalnya, si istri nanti jadi super woman; disamping sibuk urusan kantor, dia juga disibukkan urusan pengelolaan keuangan keluarga."

Bukan berarti istri lantas tak boleh jadi "menteri keuangan"nya, lo. "Kalau memang si istri bisa melakukannya, ya, enggak apa-apa. Toh, sebenarnya wanita juga lebih tabah dibanding laki-laki." Namun begitu, Widyarto melihat, akan lebih ideal bila digunakan sistem dua pundi karena masing-masing pihak akan lebih leluasa untuk mengelola sendiri uang pendapatannya. Bukankah masing-masing punya pundi sendiri?

"Tapi tentu dengan tak meninggalkan kesetaraan, ya," pesan Widyarto seraya melanjutkan, "karena kesetaraan adalah manifestasi gejala penghargaan dari masing-masing pihak kepada pasangannya." Yang perlu diingat, pada sistem dua pundi, siapapun yang lebih besar penghasilannya -tanpa terkecuali- akan menanggung keuangan keluarga lebih besar dari pasangannya.

"Jadi, kalau suami gajinya lebih besar, ia dapat menanggung biaya pengeluaran yang besar-besar, seperti rekening telepon, asuransi mobil, uang pangkal masuk sekolah anak-anak, perbaikan rumah, dan sebagainya. Sedangkan istri yang membayar iuran sekolah anak, belanja sehari-hari maupun gaji pembantu." Begitu pula sebaliknya kalau istri yang lebih besar penghasilannya.

Untuk memperlancar komunikasi, saran Widyarto, alat bantu seperti white board bisa digunakan sebagai media komunikasi antara suami-istri ataupun dengan anggota keluarga lain. Misalnya, untuk menyampaikan pesan kepada suami bahwa perlu dibelikan lagi satu tabung gas sebagai cadangan. Tentunya pesan tersebut dapat dibaca oleh semua anggota keluarga agar dapat saling mengingatkan.

PUNDI KETIGA DAN SETERUSNYA

Kalau sistem dua pundi sudah sukses, selanjutnya suami-istri bisa menciptakan pundi ketiga. "Pundi ketiga merupakan gabungan sisa uang pada pundi milik masing-masing. Jadi, sifatnya sama dengan tabungan, lebih banyak uang yang masuk," jelas Widyarto.

Dari pundi ketiga dapat pula direncanakan pengeluaran lain, misalnya, untuk berlibur sekeluarga ke Bali. Jika penghasilan suami dan istri, seiring dengan waktu terus bertambah, maka dapat diciptakan pundi keempat, kelima, dan seterusnya sebagai tempat menabung untuk pengeluaran yang cukup besar dan bersifat jangka panjang. Misalnya, ada rencana merenovasi rumah, ingin mengganti mobil, dan sebagainya yang perlu waktu relatif lama untuk mengumpulkan dananya. Ternyata enggak sulit-sulit amat, ya, Pak-Bu, mengelola keuangan keluarga. Asalkan kita mau saling terbuka mengenai gaji masing-masing dan percaya dalam pengelolaannya. Tentunya yang ditunjuk sebagai "menteri keuangan" juga harus bisa dipercaya, lo.

MENGANDALKAN ISTRI

Ada, lo, suami yang tak mau ikut berperan dalam keuangan keluarga lantaran istrinya sudah bekerja. Jadi, istrilah yang membiayai seluruh kebutuhan rumah tangga dengan gajinya, sementara si suami menggunakan seluruh gajinya untuk kebutuhannya sendiri. Si suami juga enggak mau peduli bila istrinya mengalami kekurangan uang, sehingga si istri harus berjuang sendiri untuk menutupi kekurangan tersebut dengan pinjam sana-sini. Suami model ini, menurut Widyarto , sewaktu kecil kurang mendapatkan pendidikan tentang berbagi dan bagaimana menghargai wanita. "Setelah menikah, walaupun sudah berpenghasilan, tanggung jawabnya cenderung kurang dalam menopang kebutuhan keluarganya dan lebih mengandalkan istrinya dalam membiayai kebutuhan keluarganya." Hal ini tentunya membuat hubungan suami-istri jadi tak harmonis. Komunikasi pun bisa enggak ada. Masalah anak-anak, misalnya, semuanya seolah-olah hanyalah urusan istri semata. Bila keadaan ini berlarut-larut, bukan tak mungkin si istri akhirnya mengajukan gugat cerai kepada sang suami. Nah, bila Anda yang menjadi istri tersebut, saran Widyarto, mintalah pertolongan kepada sanak keluarga untuk dapat menasihati suami. Misalnya, kepada mertua. Atau, bila perlu dapat juga meminta bantuan kepada ahli agama semisal ulama.

DEMI HARGA DIRI, PRIA PERLU "UANG LELAKI"

Sering, kan, mendengar istilah "uang lelaki"? Menurut Widyarto , para suami biasanya memang membutuhkan "uang lelaki" untuk kegiatannya di luar rumah. "Kadang, suami, kan, juga perlu mentraktir untuk membina network dengan teman-temannya atau untuk menjaga harga dirinya. Nah, ini, kan, tentunya membutuhkan biaya," tuturnya. Jadi, sepanjang jelas ketahuan digunakannya untuk apa saja, "uang lelaki" masih bisa ditolerir. "Asal jangan buat berselingkuh saja, ya!" tukas Widyarto.

Selain itu, "uang lelaki" sebaiknya juga tak berasal dari gaji atau penghasilan tetap lainnya, karena dikhawatirkan akan menganggu keuangan rumah tangga. "Bila suami tak punya penghasilan sampingan, diskusikan dengan istri untuk membahas masalah tersebut," anjurnya.

Julie/Rohedi Yulianto

Sumber www.tabloidnova.com

Kodrat

Kemarin sewaktu di mall die Frau bertemu dengan teman die Frau yang notabene-nya masih pengantin baru, cuit..cuit... !! Well, masih dua bulan umur perkawinan mereka. Masih sangat muda...

Sambil menikmati makan siang kami saling berbincang seputar kehidupan kami berdua.
"Unbelievable die Frau, my hubby kok beda banget kelakuannya dibanding waktu kami masih pacaran dulu ya? Bener-bener ndak nyangka kalo jadinya seperti ini. Seharusnya dia bisa ngertiin aku".

Weits.. sabar honey, jangan keburu ambil kesimpulan seperti itu, setiap perkara pasti ada ujung masalahnya, so .. mari kita kaji pokok perkaranya.

"Oh die Frau, aku masih kurang sabar bagaimana, my hubby itu benar-benar kolot, dia sama sekali tidak mau membantuku dalam mengurus pekerjaan rumah tangga. Bisa engkau bayangkan aku ini adalah seorang pekerja kantoran, pulang kerumah dalam kondisi lelah masih harus memasak, mencuci piring, dan bahkan mencuci baju. Tak cukup sampai disitu, aku pun harus membersihkan dan membereskan rumah sebelum berangkat kerja. Betapa lelahnya aku. Yang lebih menyebalkan lagi, ketika aku meminta bantuan suamiku untuk membersihkan rumah dia menolaknya dan dia bilang kalo itu adalah kodratku sebagai wanita, sedangkan kodrat pria pria adalah mencari nafkah. What?? I just ask him to clean up the floor!! Oh die Frau, what should I do?

Oke... sebenarnya hal-hal sepele seperti ini sudah sering dialami oleh pasangan-pasangan dalam mengarungi rumah tangga mereka. Memang rasa saling mengerti sangat dibutuhkan pada kasus seperti ini.

Sebenarnya apa sih makna "kodrat" itu? menurut kamus bahasa Indonesia artinya adalah "kekuasaan (Tuhan): manusia tidak akan mampu menentang -- atas dirinya sbg makhluk hidup", jadi dapat diambil kesimpulan bahwa kodrat itu anugerah dari Tuhan yang bersifat alami dan mutlak yang mana tidak ada satupun yang bisa menentang, maksud die Frau disini kodrat sebagai wanita adalah mengandung dan melahirkan, sedang kodrat bagi pria adalah membuahi. Kalau yang selama ini die Frau amati rata-rata persepsi orang bahwa kodrat wanita adalah mengurus rumah tangga, memasak, mencuci, mengurus anak, sedang kodrat pria adalah mencari nafkah adalah salah besar. Kalau yang telah die Frau sebutkan tadi bukanlah kodrat tapi biasanya disebut dengan "gender role" atau "peran gender". Kok disebut "peran"? Ya iya lah.. memasak, mencuci, mengurus anakdan rumah tangga juga bisa dilakukan oleh pria, ndak harus wanita kan?!! sedangkan mencari nafkah juga bisa dilakukan oleh wanita. Bahkan di jaman sekarang ini hampir semua wanita ikut mencari nafkah lho..!!

Coba deh renungkan kembali, alangkah indahnya jika dalam suatu rumah tangga suami dan istri saling membantu. Jangan salah lho Istri itu paling bahagia kalau tiba-tiba si Suami memasak untuknya. Ndak usah muluk-muluk kalung berlian atau cincin, cukup bantu meringankan pekerjaan kesehariannya saja pasti si Istri sudah sangat senang. Coba dech..!!

So Mars and Venus, coba pahami perbedaan "kodrat" dengan "peran" yaaa.....
Be happy with your couple..!!

Jumat, 26 November 2010

Salahkah Aku?

Aku ingin terlepas dari perasaan ini, aku merasa tertekan hidup dengannya, terus terang aku benar-benar mencintainya, sulit untukku melepaskannya, tapi hati ini begitu sakit, tolong die Frau, salahkah aku bila aku berpindah kelain hati?

This life is so complex
, mengaku cinta tapi tertekan, mengaku sayang tapi menyakiti, apa sih hakikat cinta itu? Cinta itu merupakan bagian dari fitrah kita sebagai makhluk hidup dan sebagai manusia yang telah dibekali dengan akal dan pikiran.

O iya, menurut Socrates seorang filsuf yang terkenal, hakikat cinta itu adalah "manakala engkau belum puas dan menemukannya, maka kau akan terus mencari dan mencari, melihat sesuatu dan membandingkannya dengan yang lain, sehingga kehampaan yang kau dapatkan". Oke, mari kita bandingan hakikat cinta dengan hakikat perkawinan menurut Socrates "di mana engkau berani memutuskan memilih yang baik menurut pandanganmu dan walaupun engkau tahu bahwa itu bukanlah yang terbaik, di sinilah engkau menentukan sikap dalam memilih, di mana perkawinan adalah pengambilan keputusan yang berani, penyatuan dua hati, penyatuan dua karakter yang berbeda di mana dua insan ini harus dan berani berbagi serta menyatukan dua pandangan menjadi satu dalam menerima kekurangan dan kelebihan pasangannya."

Bagaimana? Apabila seseorang telah berkomitmen untuk hubungan yang lebih jauh maka seharusnya dia juga berani mengambil resikonya, perbedaan pendapat, penyatuan karakter, dan penyatuan hati bukanlah hal yang mudah mengingat tiap manusia punya ego, ego yang telah ada sejak mereka terlahir ke dunia ini.

Saling memberi, saling menerima, dan saling mengerti sangat dibutuhkan untuk melanggengkan suatu hubungan. Saling berbicaralah dari hati kehati, tanpa emosi. Ambil moment yang tepat, ungkapkan rasa sakit itu, ungkapkan apa kemauanmu, sekali lagi, jangan ada yang tersembunyi, jika memang kalian saling cinta, jika memang kalian telah mengerti hakikat perkawinan pasti segalanya akan menjadi mudah walau die Frau sadar hal itu bukanlah hal yang mudah.

Berpindah kelain hati? pikirkan sekali lagi, belum tentu hati berikutnya lebih baik dari hati sebelumnya. Nobodys perfect honey .. Selama kalian masih mampu untuk menyelesaikan masalah yang ada, please buang jauh-jauh perasaan itu...

Be wise Mars... and be wise Venus...