Senin, 24 Januari 2011

Intervensi Mertua

"Ok, how many times that I've told you, aku ini istrimu, aku ini ingin kamu sayang, ingin kamu bela, ingin kamu hargai, tapi mana, dari dulu sejak kita menikah kamu selalu lebih cenderung ke mamamu, selalu kamu turuti mamamu, mana pernah kamu lihat aku, mana pernah juga kamu bela aku didepan mamamu, apalagi aku selalu terlihat salah didepan mamamu!"

Hmm.. die Frau yakin masalah seperti diatas tadi sering kita jumpai di kehidupan kita sehari-hari. Adalah hal yang biasa apabila dalam sebuah rumah tangga mengalami perselisihan, namun dilain sisi harus ada batasnya juga lho. Jika melihat kasus diatas, sangat tidak baik jika dalam suatu rumah tangga ada intervensi-intervensi dari pihak-pihak tertentu. Entah itu dari orang tua atau dari teman dekat.

Yang berhak menentukan mau dibawa kemana suatu hubungan rumah tangga adalah suami dan istri itu sendiri. Sedang orang-orang disekelilingnya hanya berhak sebatas memberikan nasehat tanpa harus ikut terlibat lebih jauh.

Menjaga hubungan baik dengan mertua memang susah-susah gampang. Beliau, yang notabene nya adalah ibu dari suami kita, yang merawat suami kita sejak kecil pastinya lebih tau dan mengenal suami kita seperti apa. Oleh karena itu tidak jarang dalam merawat suami kita sering diintervensi oleh mertua kita. Begini salah begitu salah, semua jadi serba salah.

Kalo kita mau untuk berpikir lagi, sebenarnya ndak ada salahnya menuruti apa kata mertua, namanya orang tua pasti selalu ingin yang terbaik buat anak-anaknya, tinggal bagaimana cara kita saja untuk menyikapinya. Adakalanya atau bahkan sering kali jika kita ditegur sama mertua emosi yang duluan muncul, coba deh untuk berpikir dua kali, redam dulu yang namanya emosi. Jika emosi sudah teredam maka kita dapat berpikir jernih. Tidak harus 100 % kita telan mentah-mentah nasehat mertua, kita bisa memilah nya, yang sesuai dengan pemikiran kita bisa dipakai, yang tidak sesuai bisa dijadikan pertimbangan untuk membandingan dengan pemikiran kita. Jika memang benar-benar tidak sesuai tidak usah dipakai. Selesai sudah ..!!

Untuk para suami, jika setiap lelaki telah berani untuk mengarungi kehidupan rumah tangga, maka dia harus siap dengan segala konsekuensinya. Dia harus bisa mandiri, tidak tergantung lagi kepada orang tuanya. Dia berhak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri terlepas dari bayang-bayang orang tua. Jadilah penengah yang baik antara istri dan orang tua. Tidak usah takut orang tua akan membenci Anda, sepanjang kita selalu bersikap sopan dan hormat, die Frau yakin semua akan baik-baik saja.

Orang tua bagaimanapun adalah manusia biasa yang pastinya tidak ada yang sempurna. Mereka juga pernah berbuat salah. Jika dalam kasus seperti ini, cara mengatasi intervensi dari orang tua yang paling tepat adalah membatasi diri dari setiap pengaruh orang tua dengan tidak mengurangi sedikitpun rasa hormat terhadap mereka. Jika beliau memberi nasehat jangan langsung ditelan mentah-mentah, pikirkan dua kali. Jadilah suami yang tegas, suami yang bisa menjadi pelindung dalam keluarga, suami yang dapat mengayomi anak istri.

Minggu, 05 Desember 2010

I'm Not Your Maid

Oh die Frau.. rumah tanggaku ini masih berjalan beberapa bulan tapi aku kok merasa so uncomfort ya? Aku merasa diriku lebih seperti pembantunya dari pada sebagai istrinya. Dia sama sekali tak pernah membantuku, dia juga sering menyuruhku seenaknya, bahkan disaat aku sakit sekalipun. Contohnya kemarin ketika aku sakit aku diharuskan tetap melayaninya seperti biasa, mulai membuatkan minum, menyiapkan air untuk mandi, menyiapkan makanan, bahkan hanya untuk mengambil handuk saja dia tidak mau melakukannya sendiri.

Well, sepertinya kasus seperti itu sering kita jumpai lho... Masih banyak teman-teman die Frau yang lain yang memiliki kasus serupa. Sebenarnya die Frau juga heran, hidup dijaman apa sich kita sekarang, kok kasus semacam ini masih sering kita jumpai ?

Die Frau juga ingin menegaskan istri itu bukan hanya seseorang yang bisa disuruh-suruh seenaknya, tapi ia juga punya perasaan, ingin disayang, dimanja dan dilayani juga. Sebenarnya apa sich yang ada di otak Mars tentang istri itu? teman tidur? seseorang yang bisa disuruh-suruh? Pastilaaahhh......!! hampir 90 % mereka pasti berpendapat seperti itu. Hey, sudah gak jaman lagi istri dibawah suami, yang ada adalah kesetaraan peranan, cuman die Frau yang garis bawahi disini antara suami dan istri harus mengenal tanggung jawab masing-masing. You got it?

Hey Mars, bukalah pikiran kalian, Venus itu juga punya perasaan. Coba dech sekali-sekali kalian ganti yang melayaninya dan memanjakannya. Sekali-kali juga sewaktu Venus sakit coba kalian yang menggantikan kedudukannya, seperti memasak, mencuci pakaian, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Bukankah pekerjaan-pekerjaan itu tidak harus dikerjakan oleh Venus?! die Frau yakin semua Mars pasti dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Coba bayangkan, begitu indahnya sebuah kehidupan rumah tangga jika sepasang suami dan istri dapat saling mengerti dan menyanyangi.

Cum on Mars, jangan sok bossy, yang kau pimpin itu bukanlah sebuah perusahaan tapi sebuah rumah tangga, sebuah keluarga, dimana diperlukan cinta dan kasih sayang untuk merawatnya. And for Venus, you must know about your job and your duty as a wife. Rawat dan layani Mars dengan sepenuh hati, maka dirimu akan sungguh merasa bahagia

Oke sampai disini dulu ya...
Semoga dapat menjadi sebuah inspirasi dalam menjalin hubungan yang lebih baik lagi...

Kamis, 02 Desember 2010

Aku Bukan Hanya Sebagai Teman Tidurmu

Oh die Frau, hatiku sangat sedih sekali, Marsku berkata jika aku hanya pantas dijadikan sebagai teman tidur daripada sebagai teman berdiskusi. Kalimat yang sungguh kejam, betapa teganya dia lontarkan begitu saja kepadaku...

Berkali-kali dia ucapkan kalimat itu seolah-olah dia tidak tau betapa terlukanya aku. Aku tau mungkin aku yang salah, tapi tidakkah dia bisa mengerti aku sedikitpun? Memang kuakui tiap kali Marsku mengutarakan masalahnya aku terlalu mengkhawatirkannya sehingga aku lebih banyak diam dan murung. Aku tau jika aku salah, harusnya aku bisa memberinya sebuah solusi, harusnya aku bisa menjadi Venus yang tegar baginya...

Hmm... die Frau rasa kasus seperti tadi banyak terjadi diantara kita, die Frau sebagai bagian dari kaum Venus juga pernah mengalami hal seperti itu. Adakalanya wanita itu jika diberi sebuah permasalahan yang berat hanya terlihat diam dan murung. It's normal honey... Tidak semua wanita di dunia ini adalah wanita yang tegar.

Wahai Mars, ada baiknya jika ingin berdiskusi dengan Venus kalian tau waktu yang tepat, jangan sekali-kali melemparkan suatu masalah pada Venus disaat dia sedang tidak mood. Mars, apabila Venusmu murung atau diam bukan berarti dia tidak mau memberikanmu sebuah solusi, akan tetapi bisa jadi bahwa dia sedang memikirkan solusinya.

Jika kamu benar-benar mencintainya maka kamu harus mau menerima segala kekurangannya. Jangan asal memvonis bahwa Venusmu bukanlah teman yang cocok untuk berunding. Tuhan menganugerahi kita setiap manusia dengan akal dan pikiran, so die Frau yakin bahwa Venusmu pasti mampu membantumu untuk mencari solusi atas segala permasalahan yang kamu hadapi, cuman dalam kapasitas yang berbeda. Yang penting apabila ingin berdiskusi cari waktu yang tepat yaa... O iya satu lagi jangan pernah berbicara kasar terhadap pasanganmu..

Oke.. sekian dulu ya.. die Frau agak capek ngetik nich..
Be wise .....

Senin, 29 November 2010

Katanya Cinta, Tapi Selingkuh Juga

Berselancar ke situs Nova die Frau menemukan artikel menarik lho... simak ya ...

C oba, deh, tanya kepada mereka yang berselingkuh, apakah masih cinta sama pasangannya? Banyak, lo, yang ngaku nya masih cinta. Aneh, ya? Katanya cinta, tapi, kok, berselingkuh.

"Habis, istriku nggak bisa diajak 'gaul'. Diajak happy-happy ke kafe atau diskotik aja, enggak mau. Alasannya banyak, yang buang-buang uanglah, kasihan sama anak-anaklah, ngantuklah. Padahal aku, kan, perlu bergaul. Otomatis, lama-lama akhirnya aku jadi nggak nyambung , dong, kalau ngomong sama istri," tutur Soni, sebut saja begitu, pengusaha muda dengan dua anak lelaki usia 5 dan 3 tahun.

Ada pula yang beralasan karena merasa terjajah oleh sikap istri yang dianggap kelewat cerewet dan judes. Bahkan, tak sedikit yang alasannya karena kebablasan sehingga perlu dimaklumi. "Ya, enggak bisa, dong! Dia sendiri, kok, yang memilih bentuk kehidupan semacam itu. Kalau kebablasan, kan, lebih karena ketidaksengajaan," kata Zainoel B. Biran . Bukankah setiap orang harus bisa mengontrol diri dan perilakunya, termasuk mempertimbangkan risiko perbuatannya? Mengenai kekurangan istri, "ah, itu, sih, cuma alasan yang dicari-cari. Memangnya kalau tak menemukan kekurangan istri lantas si pria enggak punya alasan maupun peluang untuk berselingkuh? Enggak juga, kan?" lanjut Bang Noel, panggilan akrab psikolog sosial dari Fakultas Psikologi UI ini.

MELANGGAR KOMITMEN

Merujuk pengalaman Bang Noel menangani klien, ketertarikan fisik menempati urutan pertama dari beragam masalah yang dikemukakan sebagai alasan. Tak heran bila yang dijadikan "sasaran" sebagai WIL biasanya wanita muda usia dengan fisik lebih menarik daripada istri. Tapi banyak juga yang mengedepankan hambatan psikis sebagai alasan berselingkuh. Misal, rasa rendah diri karena istri lebih pintar atau lebih kaya hingga yang bersangkutan merasa tak dihargai. Disamping, anggapan dalam masyarakat yang salah kaprah, juga ikut memperbesar peluang orang berselingkuh.

Sebagai contoh, pria tak pernah dipersoalkan keperjakaannya saat menikah. "Belum lagi tuntutan bahwa pria harus selalu kelihatan jantan. Makanya, begitu mengalami ketidakpuasan seks atau lainnya, pria segera mencari kemungkinan baru." Bahkan, berdasarkan pemikiran analistik, pria ternyata memang lebih membutuhkan variasi saat menghadapi kebosanan atau objek lain yang lebih menarik, termasuk dalam urusan ranjang! Pokoknya, ada aja alasan yang diberikan oleh para peselingkuh, termasuk ingin cari variasi. Itulah mengapa, Bang Noel amat meragukan kadar cintanya. "Kalau memang tetap cinta pada anak-istri, harus dipertanyakan cinta model apa?" ujarnya.

Karena dalam perkawinan yang harmonis, tuturnya, minimal harus ada 3 aspek pokok yang saling berkaitan, yakni passion atau gairah, intimacy atau keakraban, dan komitmen berupa norma-norma sosial serta agama. "Nah, jika dia berselingkuh, kan, berarti dia melanggar tiga aspek tersebut, termasuk komitmen terhadap Yang Di Atas seperti yang disebut-sebut dalam janji nikah," tandasnya.

TAK PERLU MERENGEK

Meledak marah atau sebaliknya bersikap diam seribu bahasa, jelas tak akan memecahkan masalah. Apalagi kalau Anda malah memilih balas dendam sebagai jalan pintas, "Huh, memangnya cuma dia yang bisa nyeleweng ! Aku masih menarik dan bisa juga, kok!" Kalau ini yang terjadi, "Ya, kacau, dong!" tukas Bang Noel seraya melanjutkan, "Siapa nanti yang mau peduli dan mengurusi anak-anak?"

Menurutnya, istri model ini sebenarnya cuma menunggu kesempatan untuk mencari pembenaran diri. Soalnya, tak tertutup kemungkinan ia memang ingin atau boleh jadi sudah lama terlibat perselingkuhan serupa. Jangan pula menyalahkan diri sendiri bila selama ini Anda memang sudah berusaha maksimal menjalankan peran Anda dalam keluarga. "Istri boleh saja sesaat merasa dikhianati dan dicampakkan, tapi jangan pernah menunjukkan sikap memelas hanya lantaran takut berpisah dengan suami."

Apalagi sampai terkesan merengek minta dikasihani seolah mengatakan, "Jangan tinggalkan saya dan anak-anak, dong, Mas. Kalau Mas pergi, siapa yang menafkahi anak?" Bila hal-hal semacam ini Anda gunakan sebagai "senjata" untuk mengikatnya, justru akan membuatnya bersikap makin seenaknya. "Makanya, para istri sebaiknya tak pernah menggantungkan nasib pada suami atau siapapun," ujar Bang Noel. Hal lain yang harus dihindari, jangan pernah membicarakan masalah perselingkuhan pasangan dengan keluarga besar kedua belah pihak. Bukan tak mungkin orang tua atau kerabat yang sejak awal sudah antipati pada pasangan akan memperkeruh keadaan atau bahkan menimbulkan masalah baru. "Tuh, dari dulu, kan, Mama udah bilang kalau dia laki-laki enggak bener ! Sekarang terbukti, kan?" Nah, Anda juga yang disalahkan, bukan?

KOMUNIKASI PERSONAL

Yang terbaik, menurut Bang Noel, bicarakan dengan pasangan sampai tuntas. Bukankah ini masalah Anda berdua? Dalam pembicaraan itu, tanyakan, apa, sih, maunya? Lakukan introspeksi, apa sebetulnya yang menjadi bom waktu dalam perkawinan Anda. Benarkah kedekatan hati Anda berdua sudah begitu jauh hingga tak mungkin terjembatani lagi? Dengarkan pula keinginan maupun kekecewaannya yang selama ini mungkin terabaikan.

Jadi, kaji kembali perjalanan perkawinan Anda, apa yang salah dan bagaimana memperbaiki kesalahan tersebut. "Menjalani perkawinan memang membutuhkan landasan yang kokoh," ujar Bang Noel. Selain, menuntut kemampuan asertif dari kedua belah pihak tanpa terlalu banyak mengenakan topeng maupun bumbu-bumbu yang sebetulnya tak diperlukan. "Belajarlah bersikap apa adanya tanpa harus menyakiti pasangan."

Itu sebabnya, tandas Bang Noel, komunikasi personal merupakan keharusan yang perlu dibiasakan sejak awal perkawinan. "Dengan saling ber-sharing , frekuensi dan intesitas komunikasi semakin tinggi, sehingga suami-istri akan semakin akrab dan lebih mengerti kebutuhan pasangan. Dengan begitu, relasi di antara mereka kian kokoh." Tentu saja, agar pembicaraan berlangsung sebagaimana yang diharapkan, kepala dan hati Anda harus dingin.

Anda pun harus pandai mencari momen yang tepat dan jangan sekali-kali menggunakan prinsip kalah-menang karena Anda akan terpancing untuk meledak-ledak dan ngotot hanya agar suami kalah dengan mengakui perselingkuhannya. Sementara dalam diri suami akan semakin subur ketidaksukaannya pada Anda yang sejak awal mungkin menjadi pemicu perselingkuhannya. Jika pembicaraan menemukan jalan buntu, saran Bang Noel, jangan ragu untuk mencari bantuan ahli yang bisa bersikap netral, bisa dipercaya kedua belah pihak, bijaksana, dan bisa menunjukkan jalan keluar terbaik dari kemelut rumah tangga Anda berdua.

KENALI PRIA YANG GAMPANG BERSELINGKUH

Rajin melirik wanita cantik bukan jaminan dia akan berselingkuh, lo. Dari serangkaian penelitian ditemukan hasil cukup ajek atau bersifat menetap, bahwa mereka yang aktif melakukan premarital sexual atau seks sebelum menikah cenderung lebih mudah tergoda untuk berselingkuh setelah menikah. "Tapi asumsi ini juga tak bisa diberlakukan begitu saja buat semua orang, karena segalanya terpulang pada niat baik masing-masing individu dan seberapa penting arti perkawinan buat mereka," kata Zainoel.

Yang jelas, tutur Bang Noel, pria dari semua tipe kepribadian berpeluang menjadi peselingkuh. Namun peluang tersebut akan semakin besar bila si pria cenderung haus pujian dan bersikap mencla-mencle alias inkonsisten, terlebih bila dibarengi nilai-nilai kehidupan yang longgar. "Gabungan ciri ini akan membuat mereka cenderung menjatuhkan pilihan pada hal-hal yang relatif mudah, mengutamakan aspek lahiriah dan memberi kesenangan." Mereka tak peduli dirinya dianggap tak wajar dan pilihannya keliru. Yang terpenting, mereka merasa "diorangkan".

Umumnya, mereka juga termasuk pria super egois yang mengalami hambatan perkembangan emosi. Tak heran bila mereka bersikap childish alias kekanak-kanakan, antara lain tak bisa mengendalikan dorongan keinginannya; harus saat itu juga terpenuhi tanpa mempedulikan status kepemilikan benda tesebut. Kepentingan orang lain sama sekali tak mereka pedulikan. Selain, menutup mata terhadap kekurangan diri dan tak berkeinginan memperbaikinya.

SI KECIL TUMBUH MENJADI PRIBADI YANG LIMBUNG

Anak usia balita bisa mengalami shock berat, lo, kalau tahu ayah atau ibunya berselingkuh. Soalnya, tatanan nilai-nilai kehidupan yang sedang mereka bangun, hancur berantakan. "Mereka bingung tak tahu siapa yang harus dijadikan panutan. Akibatnya, mereka tumbuh jadi pribadi limbung yang kehilangan pegangan dan tak tahu harus melangkah ke mana," tutur Zainoel. Namun begitu, masih mungkin dampaknya tak sedemikian buruk asalkan ada agent socialization atau tokoh sosialisasi lain di luar orang tua seperti tetangga atau kerabat maupun guru yang betul-betul care pada anak.

"Keterlibatan mereka sangat berperan dalam membantu anak menata kembali nilai-nilai kehidupannya yang berantakan. Bekal semacam ini dapat menjadi modal bagi anak kelak untuk mengambil hikmah dari ke'gila'an orang tuanya." Bukankah dengan melihat dan merasakan sendiri akibat dari kesalahan orang tua, anak justru akan belajar banyak agar pengalaman serupa tak terulang padanya? "Dengan demikian akan memperkuat nilai-nilai kehidupan mereka yang semula sangat lemah atau tak ada sama sekali." Sayangnya, diakui Bang Noel, tokoh atau model panutan tersebut, sekarang teramat sulit ditemukan di tengah masyarakat heterogen dan individualistis.

Dampak lain, perselingkuhan juga bisa mempercepat proses pendewasaan anak karena situasi ini kerap menutut anak mandiri lebih dini. Pasalnya, kepercayaan mereka pada orang tua sudah luntur atau bahkan tak ada lagi, hingga mereka tak lagi menganggap orang tua sebagai tempat bergantung yang diandalkan. Itu sebabnya, Bang Noel mengingatkan agar anak balita tak perlu diberi tahu skandal orang tuanya. "Tunggulah sampai mereka berumur belasan tahun ketika sudah bisa memahami apa yang terjadi."

Ini berarti, Anda harus bisa menyimpan rapat rahasia tersebut. Mau tak mau, Anda dituntut berjiwa matang agar mampu meng-handle emosi yang meledak-ledak dan membesarkan mereka dengan kasih sayang utuh, sekaligus menjaga dari dampak buruk aib yang menimpa keluarga. "Sekuat tenaga upayakan untuk menyelamatkan anak-anak yang tak bersalah. Pasrahkan masalah Anda pada Yang Di Atas. Ajak anak-anak mendoakan ayahnya, bukan sebaliknya, mengompori atau meracuni mereka untuk memusuhi ayahnya."

Julie/Th. Puspayanti

Sumber www.tabloidnova.com


Rumput Tetangga Lebih Hijau

Eh kamu tau ndak die Frau, ada Mars yang memberiku perhatian melebihi Mars-ku sendiri. Tiap hari dia sealu menelponku atau setidaknya mengirim sms yang isinya menanyakan kabar. Die Frau, what should I do? I feel so guilty! I guess I love him too...

Wew.. ada yang lagi falling in love lagi nih... Well Venus, are u sure that u falling in love with your new Mars?? I dont think so!! Masa sih semudah itu kamu melupakan Mars-mu yang dulu, Mars yang telah lama mendampingimu, berbagi kebahagiaan dan kesedihan denganmu. Masa semudah itu ingin kau campakkan?

But I guess my new Mars more perfect than him!! He gave me many attention, he bought me all the things that I want, how perfect he is!! Aku rasa hidupku sekarang telah lengkap dengannya.

Honey, yakinkan kalau perasaanmu itu benar-benar cinta atau cuma rasa senang yang sesaat, maksud die Frau perasaan yang sedang kamu rasa bukanlah cinta, tapi hanya sekedar ngefans atau rasa ingin diperhatikan saja. Coba renungkan kembali, apa kamu yakin apabila kamu meninggalkan Mars-mu yang lama lalu memutuskan hidup dengan Mars-mu yang baru kamu akan merasa lebih bahagia?? Oh cum on... kamu baru sebulan yang lalu mengenalnya. Sedang dengan Mars-mu saat ini kamu telah bertahun-tahun hidup dengannya. Kamu telah mengenal semua keluarganya, tabiat dan prilakunya, paling tidak sudah tidak perlu susah-susah beradaptasi lagi. Coba jika kamu hidup dengan Mars-mu yang baru, kamu belum mengenalnya, perlu waktu untuk beradaptasi lagi. Be realize... memadukan hati, tabiat, kepala yang berbeda tidak akan pernah mudah. Belum tentu kamu bahagia dengan Mars-mu yang baru. Lihatnya Mars-mu saat ini, dia begitu mencintaimu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Venus, ingatlah bahwa segala sesuatunya pasti terlihat indah di awal, tapi kalo dibelakang, who knows?? Memang benar apa kata pepatah "Rumput Tetangga Lebih Hijau"

So, think twice... jangan cepat ambil suatu keputusan, pertimbangkan baik-baik.....!!
Be wise Venus ..

Minggu, 28 November 2010

Bila Si Miskin Berjodoh Dengan Si Kaya

A pa jadinya bila suami dan istri memiliki perbedaan status sosial ekonomi cukup tinggi? Ternyata, pihak yang tingkat ekonominya lebih tinggi diharapkan mengalah.

"Kalau mau cari jodoh, jangan lupa lihat bibit, bebet, dan bobotnya." Begitu, kan, anjuran dari para orang tua zaman dulu. Meskipun di zaman sekarang masih banyak juga orang tua yang menganjurkan demikian. Maksudnya, carilah pasangan yang berasal dari keluarga baik-baik, sederajat pendidikan dan sosial ekonominya.

Anjuran atau nasihat tersebut, menurut Drs. Monty P. Satiadarma, MS.ATMCP/MFCC, ada benarnya, kok. Setidaknya, dalam psikologi pun ada teori yang mengatakan, semakin dekat perbedaan akan semakin kokoh perkawinan. Sebaliknya, semakin jauh perbedaan akan semakin berat karena harus ada kerja keras untuk menyatukan keduanya. "Itulah mengapa, pasangan suami-istri sebaiknya berlatar belakang sama, baik dalam pendidikan maupun status sosial ekonomi," ujarnya.

Kendati demikian, bukan berarti orang yang lemah secara ekonomi tak boleh menikah dengan golongan orang berada yang jauh di atasnya, lo. "Ide kesamaan status sosial dan ekonomi sebenarnya bertujuan untuk mengurangi tekanan dalam perkawinan. Tapi kalau si miskin akhirnya ketemu jodoh dengan si kaya, ya, enggak apa-apa. Soal jodoh, kan, bukan kita yang mengatur," tutur Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, Jakarta, ini.

Yang penting, lanjut Monty, sebelum menyatukan diri dalam ikatan perkawinan, sudah dibicarakan matang-matang soal perbedaan-perbedaan tersebut, termasuk perbedaan sosial ekonomi. "Kalau perbedaan-perbedaan itu sudah disepakati, pasangan bisa melangkah kepada komitmen yang lebih kuat." Dengan demikian, soal kaya-miskin tak lagi dipermasalahkan. Lagi pula, bila dua orang sudah terikat dalam sebuah perkawinan, maka masing-masing pihak harus menanggalkan atribut sebagai si kaya atau si miskin dan menggantinya dengan atribut suami dan istri atau ayah dan ibu bila sudah punya anak. Jadi, tandas Monty, "Mau tak mau, masing-masing pihak memang harus mengubah gayanya, karena itulah proses adaptasi perkawinan."

EKONOMI TAK TERMASUK

Memang, sih, aku Monty, perbedaan latar belakang ekonomi akan membentuk persepsi-persepsi yang tertanam pada masing-masing pihak; menjadi cerminan atau gambaran tentang dirinya yang disebut konsep diri. "Nah, konsep diri ini tampak dalam atribut yang dia bawa, misalnya, kamu anak miskin, kamu anak kaya." Namun dalam hidup berkeluarga, lanjutnya, atribut-atribut ini diharapkan tak tampak lagi, berubah menjadi atribut-atribut baru sebagai suami/ayah dan istri/ibu.

Menurut Monty, bila masing-masing pihak sudah menyadari perannya, maka perbedaan kaya-miskin seharusnya tak menjadi konflik lagi. Tapi, karena persepsi dalam keluarga bisa berbeda dengan persepsi di masyarakat, maka bila komitmen di dalam tak kuat, ya, konflik tetap bisa muncul gara-gara persepsi dari luar. Bukankah dalam penilaian masyarakat, setiap orang harus berperan sesuai atribut-atribut asalnya?

"Jadi, kalau atributnya miskin, ya, dia harus menjalani peran ini di masyarakat. Kalau tidak, dia akan mendapat cela dari masyarakat." Nah, bila persepsi masyarakat yang seperti itu diproyeksikan ke dalam diri kita, ya, celakalah. Soalnya, kita pun akan mempunyai penilaian yang sama. "Orang miskin, tuh, enggak pantas kawin sama orang kaya. Nanti akibatnya kamu jadi minder, enggak bakalan dianggap sama si kaya."

Begitu, kan, yang sering kita dengar? "Nah, pada saat menikah, proyeksi ini bisa tumbuh sewaktu-waktu bila komitmennya enggak kuat," kata Monty. Sebaiknya, saran Monty, tak usahlah kita memfokuskan pada perbedaan ekonomi dan persepsi masyarakat yang bisa menjadi pemicu konflik. "Kalau ingin pernikahan langgeng, fokuskan pada keinginan untuk membentuk perkawinan yang sehat tanpa memandang status sosial ekonomi."

Apalagi, tambahnya, dalam perkawinan yang langgeng, unsur ekonomi tak termasuk, kok. Perkawinan yang langgeng, tuturnya, harus memenuhi 5 unsur berikut ini: ada komitmen, ada rasa saling memberi dan menghargai, ada cinta, ada kebahagiaan, dan ada legitimasi untuk mendapatkan keturunan. Nah, terbukti, kan, unsur ekonomi sama sekali tak termasuk? Jadi, buat apa dipersoalkan, Bu-Pak?

TAK USAH MINDER

Lagi pula, lanjut Monty, bila dua orang sudah terikat dalam perkawinan, tak peduli kaya atau miskin, yang ada kemudian adalah mitra sejajar. "Masing-masing pihak harus saling memahami dan belajar. Yang kaya tak perlu lagi menonjol-nonjolkan kekayaannya. Sebaliknya, yang miskin tak perlu minder." Malah yang kaya mungkin bisa belajar bagaimana hidup bersahaja. Jadi, kalau teman-temannya selama ini selalu dari lingkungan orang kaya, cobalah untuk mencari teman dari lingkungan pasangan yang notabene orang-orang sederhana. "Kadang kita malah bisa belajar banyak, lo, dari orang-orang yang statusnya di bawah kita," tutur Monty.

Sementara yang miskin, lanjut Monty, daripada minder, lebih baik berpikir positif. Misalnya, "Biarpun saya enggak sekaya istri, tapi saya punya pekerjaan halal dan penghasilan yang cukup untuk anak-istri." Tentu saja yang miskin pun perlu belajar dalam arti memperluas wawasannya mengenai kehidupan orang kaya. Sehingga manakala suatu saat dia berada dalam kelompok pasangannya yang kaya, paling tidak dia bisa ikut nimbrung dalam pembicaraan mereka. "Tapi yang baik, adalah masing-masing pihak perlu mempelajari gaya hidup pasangannya. Inilah yang dinamakan proses penyesuaian diri dalam perkawinan."

Tapi bukan berarti si suami yang miskin ini lantas harus mengubah gaya hidupnya yang sederhana menjadi glamor, lo. "Nanti malah dibilang kere munggah bale , orang miskin yang kawin hanya untuk climb society, pindah ke golongan yang dirasanya lebih tinggi." Lagi pula, kalau ternyata dia enggak sanggup, malah bisa timbul konflik peran, lo. Maksudnya, lanjut Monty, peran adalah watak yang kita mainkan di dalam pergaulan sosial.

Konflik peran terjadi jika kita harus memainkan watak yang tidak selaras atau bahkan bertentangan. "Dalam konteks miskin dan kaya, misalnya, seseorang yang berasal dari keluarga sederhana yang terbiasa hidup sederhana dan ekonomis, kemudian harus menyesuaikan diri dengan pasangan barunya yang kaya dan boros, ia akan mengalami konflik peran. Seringkali 'terpaksa' harus bertindak yang sama dengan pasangannya, padahal hati kecilnya tersiksa.

Nah, lama-kelamaan ini bisa menimbulkan frustrasi. Karena dia harus menjadi orang yang bukan dirinya sendiri." Menurut Monty, lebih baik kemajuan itu diperoleh karena achievement dia sendiri, bukan karena mobilitas sosial yang diperolehnya dari pasangan. Harga diri juga tetap bisa dipertahankan. "Bangga, kan, kalau kita kemudian menjadi kaya, dan step by step 'perjuangannya' kita nikmati."

YANG KAYA HARUS MENGALAH

Jikapun sampai terjadi konflik gara-gara perbedaan status sosial ekonomi, saran Monty, coba, deh, pikirkan, penting enggak, sih, suami- istri "berkelahi" gara-gara soal itu? "Fokuskan mana yang lebih penting, status sosial ekonomi atau kelanggengan perkawinan?" Monty menganjurkan agar pasangan melihat kembali bagaimana komitmennya dulu sebelum menikah. Bila memang dulu sudah dicapai kata sepakat bahwa perbedaan status sosial ekonomi tak bakal jadi masalah, lantas mengapa komitmen tersebut sekarang malah berbelok? Apakah karena ada faktor luar yang terlalu ikut campur?

Kalau masalahnya karena faktor luar, kembalikan lagi pada komitmen. Kalau masalahnya karena komitmen yang dilanggar, ya, harus diluruskan lagi. Berarti, mau tak mau, harus ada pihak yang mengalah. Nah, dalam kasus perkawinan beda status sosial ekonomi, kata Monty, yang lebih diharapkan mengalah adalah pihak yang lebih tinggi tingkat ekonominya. "Kalau suami sudah sebal dengan gaya hidup yang kita pertahankan, ya, cobalah untuk mengubahnya. Toh, tak ada salahnya mengubah gaya hidup yang lebih down to earth. Apalagi di zaman sekarang, orang dinilai bukan dari kekayaannya, tapi lebih kepada pendidikan dan attitude -nya."

Bila suami lebih kaya, seringkali mereka justru menuntut agar istri mengikuti sang suami. Bukankah kerap terjadi, bila istri tidak bisa mengimbangi suami, maka si suami pun jadi punya alasan untuk membenarkan tindakannya untuk menyeleweng, misalnya, "habis istriku enggak bisa diajak gaya, norak. Kan, malu kalau bawa-bawa istri ke tempat jet-set? " Tentu saja itu hanya alasan yang dicari-cari untuk menyeleweng.

"Karena pada dasarnya memang sudah berencana menyeleweng. Punya istri norak? Siapa yang suruh punya istri norak? Memangnya siapa yang memilih pada mulanya, bukankah karena sifat norak laki-laki itu sendiri yang membawanya pada pilihan tersebut?" Pola pikir demikian sesungguhnya cuma blamming , menyalahkan orang lain yang sesungguhnya bersumber dari rasa ketidakberdayaan menerima kritik, saran dan kekurangan orang lain. Hal ini hanya mungkin terjadi jika seseorang memiliki sikap rendah hati." Sebaliknya sifat mau menang sendiri adalah keangkuhan yang menyelimuti sifat pengecut karena tidak berani menerima ketidaksempurnaan manusia. "Ingat, perkawinan itu sendiri merupakan ibadah dalam kehidupan. Tidak adil kalau kita selalu mencari-cari kekurangan pasangan, sementara kita tutup mata atas kelebihan-kelebihannya."

JADI CONTOH BUAT ANAK

Yang terbaik, menurut Monty, ambillah jalan tengah. Misalnya, gaya hidup yang bersahaja. Pasalnya, bila suami-istri kerap konflik hanya gara-gara mempersoalkan status sosial yang berbeda, bisa berdampak pada anak. "Anak-anak jadi melihat, oh, jadi dalam memilih jodoh, materi menempati hal yang utama, bukan lagi kepribadian calon pasangannya. Soalnya gara-gara materi, bapak dan ibu jadi sering berantem.

Jadi anak-anak berpikiran, kalau begitu, materi sangat penting, dong. Padahal kan itu tidak betul. Anak-anak bisa menjadi orang yang pemilih, mungkin dalam bergaul juga begitu, maunya berteman dengan yang segolongan saja." Tapi jika ayah dan ibu tak pernah mempersoalkan perbedaan status sosial ekonomi, maka ke depannya nanti, bisa menjadi contoh bagi anak-anak dalam mencari kawan atau jodoh. "Anak-anak, kan, bisa melihat, meski ayah-ibu berbeda status sosial ekonomi, tapi mereka tetap akur dan awet perkawinannya." Anak-anak juga mungkin akan lebih melihat status pendidikan daripada ekonomi.

Misalnya, ayahnya yang orang miskin tapi bisa menjadi doktor. "Ini, kan, juga memotivasi mereka bahwa kekayaan saja kadang kala bukan modal untuk mencapai pendidikan yang tinggi dan prestasi tak selalu berarti kekayaan." Yang jadi masalah, tak jarang kakek-nenek yang berduit sangat royal kepada cucu-cucunya. Entah dengan membelikan mainan, pakaian, ataupun makanan yang mahal-mahal. Bila demikian, saran Monty, kemukakan saja terus terang kepada si kakek dan nenek tentang pola asuh yang diterapkan di dalam keluarga kita.

"Mungkin pada awalnya mereka akan berpikir, 'Wah, sok amat anakku, kok, menolak pemberian barang-barang buat cucu.' Tak apa-apa. Toh, lama-kelamaan mereka akan mengerti juga. Apalagi jika mereka melihat, anak dan menantunya ternyata mempunyai komitmen yang kuat dan sikap saling menghargai." Malah, lanjut Monty, bukan tak mungkin si kakek dan nenek akan berbalik bangga mempunyai anak dan menantu yang tahu cara menempatkan diri dengan baik; yang satu enggak pongah karena kaya dan satunya enggak minder lantaran miskin. Nah, Bu-Pak, tak ada lagi yang perlu dipersoalkan, bukan?

Santi Hartono

Sumber www.tabloidnova.com

Jika Istri Dipelototi Pria Lain

T idak semua istri/suami merasa nyaman bila pasangannya dikagumi orang lain secara seksual. Adakalanya yang muncul justru perasaan risih. Benarkah masalah tersebut bisa mengganggu kehangatan ranjang?

Andi merasa risih, tiap kali jalan dengan istrinya di pusat keramaian. Banyak mata yang memelototi tubuh Tina yang memang dari sononya aduhai. Tina sendiri tidak masalah, bahkan kadang-kadang terselip perasaan bangga kalau ada yang memuji, "Wah, Jeng Tina anaknya sudah dua? Nggak percaya, ah. Badannya masih bagus gini . Mana seksi lagi!"

Cerita sebaliknya dialami Lani. Deni suaminya sejak kuliah terkenal sebagai si jago basket. Badannya tinggi, tegap, dengan postur ideal. Lani justru bangga kalau teman-temannya memuji kemachoan tubuh suaminya. "Malah saya selalu membelikan baju yang bisa memperlihatkan otot-ototnya, dan suami saya seneng aja , tuh, memakai baju-baju yang saya belikan," ungkapnya dengan nada bangga.

Sebenarnya bagaimana harus bersikap bila pasangan dikaruniai tubuh yang "aduhai", yang kemudian membuat orang lain mengaguminya sedemikian rupa dengan pandangan mupeng (muka pengen alias bernafsu)? Haruskah bangga seperti Lani, atau risih seperti Andi? "Apa pun sikap yang dipilih, yang penting ada kesamaan persepsi antara suami dan istri," jawab Dra. Clara Istiwidarum Kriswanto, MA, CPBC., dari Jagadnita Consulting.

HARUS SEPAHAM

Memang tidak ada batasan yang tegas untuk masalah ini. Apakah pasangan yang mempunyai tubuh molek harus menyembunyikan kelebihannya ataukah justru boleh menonjolkannya. "Semuanya terpulang kembali pada kesepakatan kedua belah pihak," ungkap Clara. Ada suami/istri yang sepakat dan bangga dengan tubuh seksi/macho pasangannya. "Tidak ada keberatan di antara mereka kalau pasangannya mengenakan rok mini, tank top , kemeja ketat, dan sejenisnya." Mereka sama-sama enjoy saat berjalan di tempat umum dan menjadi pusat perhatian.

Namun, ada juga suami/istri yang keberatan bila pasangannya mempertontonkan "kelebihannya". Yang bersangkutan merasa lebih nyaman kalau hal-hal semacam itu tidak terlalu diekspos untuk umum. "Selama yang punya badan tidak keberatan untuk 'menyembunyikan' kelebihannya, ya tidak masalah juga," tambah Clara. Intinya, lagi-lagi kesepakatan kedua belah pihak untuk menentukan satu sikap yang sama.

BILA ADA PERBEDAAN SIKAP

Selama keduanya tidak ada perbedaan sikap, sebenarnya dijamin tidak akan muncul konflik. Masalah baru muncul kalau ada perbedaan. Beberapa hal berikut disarankan Clara bila ada batu sandungan sehubungan dengan masalah ini.

* Bicara terbuka

Ajak bicara pasangan. Galilah apa saja yang menjadi keberatannya. Utarakan juga keinginan pribadi kita. Sampaikan secara terbuka semua hal yang harus diketahui oleh pasangan.

* Kompromi

Setelah saling mengutarakan isi pikiran, cobalah cari titik kompromi. Bisa jadi titik kompromi ini tidak memuaskan kedua belah pihak, tapi itu merupakan jalan tengah yang paling sedikit risikonya.

* Jangan main paksa

Bila pasangan belum mau mengubah persepsinya, jangan pernah memaksakan kehendak. Misalnya pasangan dipaksa melupakan rok mini yang selama ini menjadi "kostum kebesarannya". Dikhawatirkan pemaksaan seperti itu justru menimbulkan kepalsuan. Kalau ada suaminya dia akan menurut, tapi di belakangnya justru makin menjadi-jadi.

* Luruskan pandangan

Bisa jadi masalah ini muncul karena persepsi yang salah. Oleh sebab itu, luruskan persepsi tersebut. Misalnya rasa takut kehilangan bisa dinetralisir dengan berkata tegas, "Memang benar banyak orang yang melihat penampilan fisikku, tapi itu tidak berarti aku menjadi milik mereka, kan? Aku tetap istri/suami kamu terlepas dari pandangan semua orang."

GANGGU KEHANGATAN RANJANG

Bisa jadi karena setiap hari merasa tubuh pasangan yang "aduhai" dijadikan santapan banyak mata, suami/istri lantas kehilangan gairah seksualnya. Benarkah demikian? "Sebenarnya tidak otomatis seperti itu," ungkap Clara.

Gangguan tersebut muncul karena secara psikologis pasangan tersebut merasa "ditinggal". "Tiap jalan berdua yang diperhatikan hanya salah satunya saja. Lama-lama akan muncul perasaan tidak nyaman dan akhirnya yang bersangkutan merasa terabaikan. Perasaan seperti ini bila dibiarkan terus-menerus bukan tidak mungkin akan berpengaruh pada kehidupan seksual mereka."

Kemungkinan lain adalah akan muncul perasaan tidak setara. Baru mau "menyentuh" sudah muncul perasaan minder, karena tubuh pasangannya terlihat sangat sempurna, sedangkan dia biasa-biasa saja. Akan muncul keragu-raguan dalam hati, "Jangan-jangan pasanganku tidak bisa menikmati bentuk tubuhku." Perasaan-perasaan seperti ini bila dibiarkan, dalam jangka panjang tentu akan memunculkan efek. Salah satunya adalah memudarnya kehangatan di atas ranjang.

Oleh sebab itu, saran Clara, kompromi merupakan jalan mutlak yang harus ditempuh oleh suami-istri. Jangan sampai komunikasi macet atau malah terputus hingga menimbulkan masalah yang sebenarnya tidak perlu muncul, seperti menurunnya gairah seksual tadi. Keindahan tubuh pasangan merupakan anugerah yang seharusnya disyukuri dan dinikmati. "Justru jadikan hal ini sebagai bonus yang bisa meningkatkan kualitas hubungan seksual dan bukan sebaliknya," tandasnya.

DULU TERTARIK KINI INGIN MENGUASAI

ADA juga kasus lain, sewaktu kenal pertama dulu suami/istri tertarik pada kondisi fisik pasangannya, entah karena keseksiannya atau kekekarannya. Yang bersangkutan sadar betul bahwa itu adalah "modal" yang membuat pasangannya dilirik banyak mata. Namun setelah menikah, suami/istri tentu saja tak rela lagi kalau kondisi fisik pasangannya masih "dinikmati" orang lain. "Itu namanya cinta yang obsesif. Ia ingin menguasai pasangannya sepenuhnya. Lo kalau sedang berjalan di tempat umum, apa iya orang lain tidak boleh melihat sama sekali?" tukas Clara . Di sinilah dibutuhkan kepercayaan dari kedua belah pihak. Dilihat boleh, disentuh jangan!

Marfuah Panji Astuti

Sumber www.tabloidnova.com